Kota Bima ~ infobima ~ Proyek pembangunan RSUD Kota Bima yang menelan anggaran fantastis senilai Rp 130 miliar, kini menjadi sorotan tajam dan berpotensi menjadi skandal besar. Front Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (Front MAKI) Wilayah Nusa Tenggara Barat (NTB) gencar melakukan investigasi dan menemukan sejumlah kejanggalan mengarah pada dugaan tindak pidana korupsi.
Front MAKI NTB mendesak Pemerintah Kota Bima untuk membuka data proyek secara transparan kepada publik, menyusul temuan dugaan mark-up anggaran yang mencapai angka Rp 40 miliar. Kemudian tak hanya itu, pengadaan alat kesehatan (alkes) yang terkesan "gelap" dan tertutup, juga menjadi perhatian serius. mengindikasikan adanya konspirasi serta potensi keterlibatan pihak-pihak berwenang, termasuk Walikota.
Lanjutnya. Kejanggalan juga ditemukan dalam proses tender, baik untuk proyek utama senilai Rp 130 miliar maupun tender terpisah senilai Rp 35.5 miliar.
Optimisme Walikota dan Realitas Anggaran yang Mencurigakan di tengah keraguan masyarakat akibat pengalaman buruk proyek mangkrak di masa lalu, Walikota H. A. Rahman H. Abidin tetap optimis bahwa pembangunan RSUD akan berjalan lancar dan sesuai harapan.
Namun, optimisme tersebut berbanding terbalik dengan fakta anggaran yang mencengangkan. Proyek pembangunan gedung 3 lantai seluas 7.557 meter persegi menelan biaya hingga Rp 130 miliar, atau setara dengan Rp 17 juta per meter persegi. Dan Angka ini dinilai sangat fantastis dan tidak wajar untuk ukuran Kota Bima, sehingga memicu kecurigaan adanya praktik mark-up yang signifikan.
Desakan Transparansi dari Temuan Dugaan Mark-Up Rp 40 Miliar. Ketua Front MAKI NTB, Danil Akbar, dengan tegas menyatakan bahwa transparansi adalah kunci utama dalam memastikan anggaran negara digunakan secara tepat dan akuntabel.
"Kami meminta agar seluruh data proyek RSUD dibuka secara transparan kepada publik, sehingga masyarakat dapat ikut mengawasi dan mengontrol penggunaan anggaran. Ini bukan hanya soal pembangunan fisik semata, tetapi juga perencanaan, pelaksanaan, hingga pengadaan alkes yang harus jelas dan dapat dipertanggungjawabkan," ujarnya.
Danil Akbar menambahkan bahwa Front MAKI NTB berencana untuk segera melayangkan surat resmi kepada Pemkot Bima, khususnya Dinas Kesehatan, guna memperoleh data rinci terkait pengadaan alkes.
"Kami menduga ada konspirasi besar yang menggerogoti uang negara dalam proyek ini, dan berdasarkan informasi yang kami terima bahwa ada keterlibatan oknum PBJ berinisial Mhd dalam skandal pengaturan tender proyek yang terkait Dinkes. Dugaan mark-up ditemukan mencapai angka Rp 40 miliar akan melakukan somasi tantinya". Bebernya Danil
Kami tidak ingin hanya disuguhi laporan progress pembangunan yang seremonial, tetapi juga transparansi dalam pengelolaan keuangan negara," tegasnya.
Lebih lanjut, Danil Akbar mempertanyakan peran Walikota dalam memberikan pernyataan terkait proyek RSUD. "Setiap kali pernyataan Walikota Bima muncul ke publik, kami melihat bahwa Walikota berbicara seolah sebagai humas pembangunan proyek RSUD, menyatakan bantahan soal mangkrak, terus menyatakan progress pembangunan. Kemana itu kepala dinas dan PPK proyek tersebut, atau pihak Hutama Karya dan pihak-pihak terkait untuk bicara dan menjelaskan soal pembangunan tersebut? Kok Walikota terus?" tanyanya.
Kini Front MAKI NTB juga menyoroti adanya indikasi keterlibatan Walikota Bima dalam dugaan skandal korupsi ini. Danil Akbar mengungkapkan kekecewaannya karena selama ini setiap permintaan data atau informasi terkait proyek RSUD selalu diabaikan atau dialihkan kepada Walikota.
"Setiap kali kami meminta data, jawabannya selalu mengarah ke Walikota. Emangnya dinas terkait dan PPK (Pejabat Pembuat Komitmen) tidak memiliki data? Ini semakin menguatkan dugaan kami bahwa ada sesuatu yang disembunyikan.
Kami menduga jangan-jangan adanya 'komitmen fee' yang mengalir ke kantong Walikota dalam proyek pembangunan RSUD Kota Bima. Kini nilainya mencapai lebih dari 200 miliar rupiah, baik yang bersumber dari Dana Alokasi Khusus (DAK) maupun Dana Alokasi Umum (DAU) ini," ungkapnya.
Front MAKI NTB juga menyoroti adanya kejanggalan dalam proses tender proyek RSUD Kota Bima. Untuk proyek utama senilai Rp 130 miliar yang menggunakan skema Design and Build (D&B), diduga terjadi pengaturan tender yang mengarah pada pemenang tertentu.
"Pada saat dikonfirmasi oleh kami dahulu, ketua PBJ yang lama menyatakan bahwa tidak ada yang menang dan tidak ada yang dikalahkan, tapi kenapa penawaran PT. Hutama Karya yang dimenangkan, sedangkan PT. Nindya Karya yang menawar lebih rendah tidak dimenangkan...? Selisihnya hampir 3 miliar lho! Hal ini memperkuat dugaan adanya pengaturan dalam pemenangan tender saat itu. PPK dan Pokja PBJ yang mengurus tender tersebut harus dimintai pertanggungjawaban dalam hal ini," Ujarnya Danil Akbar.
Selain itu, tender terpisah untuk fasilitas ruang rawat inap senilai Rp 35.5 miliar juga hanya diikuti oleh satu perusahaan, yang menurut investigasi jurnalistik kami, bahwa perusahaan tersebut sarat dengan problematik.
"Di berbagai proyek yang dikerjakannya kerap kali terdapat masalah. Dan lucunya, dalam tender tersebut hanya diikuti oleh satu perusahaan yang mengajukan penawaran. Dan langsung dimenangkan oleh Pokja dan PPK, tanpa mempertimbangkan untuk dilakukan koreksi lebih lanjut.
Kondisi ini jelas melanggar prinsip persaingan sehat dalam pengadaan barang dan jasa pemerintah, serta mengindikasikan adanya praktik kolusi dan nepotisme," tambahnya.
Analisis Hukum dan Potensi Jeratan Pidana Korupsi Ketua Front MAKI Pusat, Ahmad Syaifudin, mengingatkan Pemerintah Kota Bima untuk fokus pada kualitas pelayanan, bukan sekadar seremoni. Ia menyoroti sejumlah kejanggalan yang mengarah pada pelanggaran hukum.
1. Mark-Up Anggaran yang Mencurigakan: Harga Rp 17 juta per meter persegi jauh di atas harga pasar dan Standar Biaya Masukan (SBM). Hal ini mengindikasikan mark-up yang dapat dijerat dengan Pasal 2 ayat (1) UU No. 31/1999 jo UU No. 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor). Pasal ini mengatur tentang perbuatan melawan hukum yang memperkaya diri sendiri atau orang lain yang merugikan keuangan negara, dengan ancaman penjara seumur hidup atau 4-20 tahun dan denda Rp 200 juta - Rp 1 miliar.
2. Tender yang Diduga Diatur: Proses tender yang tidak kompetitif, baik untuk proyek utama maupun tender terpisah, mengindikasikan adanya pengaturan yang melanggar prinsip persaingan sehat dan dapat dijerat dengan Pasal 3 UU Tipikor atau Pasal 12 huruf i UU Tipikor. Pasal 3 mengatur penyalahgunaan kewenangan yang merugikan negara, dengan ancaman penjara 1-20 tahun dan denda Rp 50 juta - Rp 1 miliar. Pasal 12 huruf i mengatur tentang suap dan gratifikasi.
3. Proyek Multi-Years yang Melanggar PMK: Pengalihan anggaran Rp 35 miliar menjadi proyek multi-years melanggar PMK No. 60/PMK.02/2021 jo PMK No. 93/PMK.02/2021, yang mensyaratkan nilai minimal Rp 200 miliar dan persetujuan Menteri Keuangan untuk proyek multi-years. Tindakan ini dapat diindikasikan sebagai upaya menyembunyikan praktik korupsi.
Peran Walikota dalam Pusaran Dugaan Korupsi
Sebagai kepala daerah, Walikota memiliki tanggung jawab besar dalam memastikan proyek pembangunan berjalan sesuai aturan dan perundang-undangan yang berlaku. Jika terbukti terlibat dalam praktik korupsi, Walikota dapat dijerat dengan pasal-pasal yang sama dengan pelaku lainnya, bahkan dengan pemberatan hukuman karena jabatannya.
Desakan kepada KPK dan Harapan Masyarakat
Front MAKI baik pusat maupun wilayah NTB mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk segera turun tangan dan melakukan penyelidikan mendalam terhadap proyek RSUD Kota Bima. Masyarakat berharap agar KPK dapat bertindak cepat dan tegas untuk mengungkap kebenaran serta menyeret para pelaku terduga korupsi ke pengadilan.
Hingga berita ini diturunkan, belum ada tanggapan resmi dari Pemerintah Kota Bima terkait desakan Front MAKI NTB, dugaan mark-up anggaran, pengadaan alkes yang "gelap", kejanggalan tender, serta indikasi dugaan keterlibatan Walikota dan berbagai pihak terkait dalam proyek pembangunan RSUD kota Bima.
Publik menanti respons cepat dan transparan dari pihak terkait untuk mengungkap kebenaran di balik proyek yang seharusnya menjadi kebanggaan masyarakat Kota Bima ini. Front MAKI NTB berjanji akan terus mengawal kasus ini hingga tuntas demi mewujudkan pemerintahan yang bersih dan akuntabel di Kota Bima.(Red/Aryadin)
