IPJI Desak Kapolri Segera Copot Kapolres Kota Baru
Cari Berita

Iklan 970x90px

IPJI Desak Kapolri Segera Copot Kapolres Kota Baru

Wednesday, June 13, 2018

Ketua Umum IPJI - H. Taufiq Rachman
Jakarta, Lensa Post NTB – Terkait tewasnya  Wartawan Muhammad Yusuf di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II B Kota Baru Kalimantan Selatan,  Ketua Umum Ikatan Penulis dan Jurnalis Indonesia (IPJI) H. Taufiq Rachman, S.Sos, SH minta Petinggi Polri, khususnya Kapolri,  agar memberikan tindakan administratif kepada Kapolres Kota Baru, Kalimantan Selatan, “Kalau perlu dipecat tidak secara hormat jika ditemukan hal-hal memberatkan dalam mengusut kasus tersebut,” jelas Taufiq dalam bincang-bincang di Sekretariat IPJI, Johar Baru, Jakarta Pusat, Selasa (12/6).
Ia tak mentolerir tewasnya wartawan di tahanan gara-gara pemberitaan. “Padahal, tersangka apapun tindakan kriminalnya, tetap harus dilindungi keselamatannya. Bahkan, seorang napi pun tetap dilindungi hak hidupnya. Mereka tetap diberi makan, hak-hak hidupnya terus dilindungi,” tegasnya. Sangat disesalkan dalam kasus tewasnya wartawan Muhammad Yusuf, hak hidupnya tercabut dengan mudah. Ia meregang nyawa di tahanan. “Jika beliau sakit, seyogianya dibawa ke rumah sakit dong. Jangan dibiarkan begitu saja,” jelas Taufiq.
Taufiq juga memberikan apresiasi terhadap sikap Wakapolri Komjen Pol Syafruddin yang kecewa dan tak setuju atas tindakan Polres Kotabaru, Kalimantan Selatan  menjerat Muhammad Yusuf, wartawan media siber Kemajuan Rakyat dengan pasal 45 A UU 19/2016 tentang Perubahan Atas UU 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).“Apalagi beliau tak setuju wartawan langsung dipidana,” ungkap Taufiq, tentang sikap Wakapolri. 
Alm. Wartawan Muhammad Yusuf
Menurutnya, seseorang yang merasa dirugikan maupun dicemarkan nama baiknya, dapat mengajukan hak jawab ( bantahan) terhadap pemberitaan tersebut. “Media bersangkutan wajib memuatnya secara utuh,” tutur Taufiq yang menekuni dunia jurnalis sejak era 80-an. Barulah, setelah itu dapat melaporkan si wartawan maupun medianya ke pengadilan, bila Dewan Pers menilai penulisan itu tidak sesuai kaidah jurnalistik. “Jadi, tidak memberlakukan UTE. Melainkan UU Pokok Pers sebagai lexs specialis. Kok UTE sih, kan lahannya pemberitaan, bukan medsos,” tuturnya. Ia juga berharap agar Dewan Pers mensakralkan UU Pokok Pers ketimbang UTE dalam soal pemberitaan.
“Itu harus diutamakan oleh Dewan Pers lepas apakah medianya tercatat atau tidak, atau wartawannya sudah ikut sertifikasi atau tidak,” tuturnya. Sebab, jika berita tidak sesuai dengan versi nara sumber, lalu si wartawan dijebloskan ke tahanan hingga tewas, itu sama halnya mengkebiri kebebasan pers. “Itu namanya cara-cara preman,” tegas Taufiq, seraya mengingatkan peran pers di negeri ini sudah ada, jauh sebelum negeri ini terbentuk, jauh sebelum institusi Polisi terbentuk. “Jadi, polisi harus menghargai pers, jangan cara-cara preman. Berkat kontribusi pers negeri ini merdeka, sehingga ada polisi. Jangan lupakan sejarah,” tuturnya berapi-api melihat arogansi polisi terhadap pers. (Tim Lensa Post NTB)