Negara Hukum Atau Negara Kesepakatan, Kini Tumpul Ke Atas Tajam Kebawah
Cari Berita

Iklan 970x90px

Negara Hukum Atau Negara Kesepakatan, Kini Tumpul Ke Atas Tajam Kebawah

Saturday, December 20, 2025


Kota bima ~ infobima.com ~ Danil Akbar Ketua Satgasus Pemberantasan Korupsi Resimen Brigade 571 TMP DKI Jakarta. Mengatakan, bahwa ini bukan sebuah opini tapi sebagai sikap kritis atas fenomena maraknya kesepakatan antar lembaga negara yang dalam praktiknya justru merusak tatanan negara hukum dan mengancam integritas lembaga penegak hukum dalam menjalankan fungsi independennya. 

Fenomena ini tampak nyata ketika berbagai upaya masyarakat sipil dan lembaga swadaya masyarakat mendorong percepatan penanganan perkara tindak pidana korupsi di daerah, namun berhadapan dengan dalih koordinasi, kesepakatan, dan nota kesepahaman antar lembaga negara. Ujarnya pada hari Sabtu 20 Desember 2025 di media ini melalui via WhatsApp pribadinya.

Situasi ini tidak boleh dibiarkan. Ia harus direspons secara terbuka sebagai bahan evaluasi bersama demi mengembalikan marwah lembaga hukum negara agar bekerja secara serius, merdeka, serta berorientasi pada pro justicia. 

Namun demikian. Lembaga penegak hukum, sebagai pilar utama negara hukum. seharusnya menempatkan independensi, transparansi, akuntabilitas, dan tanggung jawab sebagai prinsip dasar dalam setiap tindakan, bukan justru menjadikan kesepakatan administratif sebagai alasan untuk menunda atau membiarkan kejahatan berlangsung tanpa proses penegakan hukum yang jelas. Tegasnya 

Indonesia secara konstitusional ditegaskan sebagai negara hukum, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Konsekuensi logisnya jelas: hukum adalah panglima tertinggi, bukan kekuasaan, bukan kompromi, dan bukan kesepakatan antar lembaga. Ketika penanganan perkara pidana dihambat dengan dalih “kesepakatan” antara Kejaksaan, Kepolisian, dan Kementerian Dalam Negeri, maka pada titik itulah negara hukum sedang dipereteli dari dalam.

Tidak ada satu pun norma hukum yang membenarkan penghentian, penundaan, atau pembiaran perkara pidana hanya karena alasan koordinasi, MoU, atau kesepahaman administratif. Tapi kesepakatan antarlembaga tidak pernah boleh ditempatkan lebih tinggi dari undang-undang. Maka seharusnya Kejaksaan dan Kepolisian Wajib Merdeka Dalam Penegakan Hukum. Ungkap Danil

Namun mirisnya. Kejaksaan dan Kepolisian adalah aparat penegak hukum yang menjalankan fungsi penegakan hukum dalam sistem peradilan pidana. Independensi keduanya dijamin oleh undang-undang. Kejaksaan melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan secara merdeka, sementara Kepolisian menjalankan fungsi penyelidikan dan penyidikan tanpa tunduk pada tekanan politik maupun intervensi administratif.

Dalam konteks ini, Kementerian Dalam Negeri tidak memiliki kewenangan apa pun dalam proses pidana. Kewenangan Mendagri terbatas pada ranah administrasi pemerintahan daerah. Ketika kewenangan administratif dipaksakan masuk ke wilayah pidana, maka hal tersebut merupakan pelanggaran serius terhadap prinsip pemisahan kewenangan dan asas negara hukum.

MOU serta Koordinasi Tidak Boleh Menjadi Tameng Kejahatan dan Nota kesepahaman, koordinasi antara APIP dan APH, maupun dalih ultimum remedium tidak boleh disalahgunakan sebagai tameng untuk melindungi pelaku kejahatan, kini Tumpul ke Atas Tajam Kebawah. Imbuhnya 

Dugaan kejahatan kasus korupsi. Menjadi MoU bukan sumber hukum dan tidak memiliki kedudukan untuk mengalahkan KUHP, KUHAP, maupun Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Ketika unsur pidana telah terpenuhi dan bukti permulaan cukup, maka proses hukum wajib berjalan. Setiap upaya menunda, menghambat, atau menghentikan perkara dengan alasan kesepakatan antarlembaga merupakan bentuk pembangkangan terhadap hukum dan pengkhianatan terhadap konstitusi.

Bahaya OBSTRUCTION OF JUSTICE Sistemik Penggunaan kesepakatan antarlembaga untuk menghambat penyelidikan, penyidikan, atau penuntutan patut diduga sebagai perintangan proses hukum (obstruction of justice) sebagaimana dikenal dalam hukum pidana. Ini bukan lagi persoalan etik atau administrasi, melainkan kejahatan serius yang merusak sendi keadilan dan kepercayaan publik.

Apabila praktik ini dilakukan secara terstruktur, sistematis, dan masif, maka sesungguhnya bangsa ini sedang menghadapi kejahatan kolektif yang lebih berbahaya daripada korupsi itu sendiri, karena menghancurkan mekanisme koreksi dalam negara hukum.

Sikap Tegas BRIGADE 571 TMP. Satgasus Pemberantasan Korupsi Brigade 571 TMP DKI Jakarta dengan tegas menyatakan sikap:

1. Menolak segala bentuk kesepakatan antar lembaga yang menghambat penegakan hukum pidana.

2. Menuntut Kejaksaan dan Kepolisian kembali pada khitah sebagai penegak hukum yang merdeka, berani, dan bertanggung jawab.

3. Mendesak penghentian praktik perlindungan terselubung terhadap pelaku korupsi atas nama koordinasi dan kesepakatan administratif.

4. Mengingatkan bahwa pembiaran terhadap kejahatan adalah bentuk kejahatan itu sendiri.

Penutup. Negara ini tidak kekurangan aturan, tetapi kekurangan keberanian. Korupsi tidak akan pernah bisa diberantas jika hukum terus dikalahkan oleh kompromi kekuasaan. Koordinasi boleh dilakukan, tetapi kompromi terhadap hukum adalah pengkhianatan terhadap konstitusi.


Jika hukum terus ditundukkan oleh kesepakatan, maka yang runtuh bukan hanya penegakan hukum, melainkan legitimasi negara itu sendiri.


Brigade 571 TMP berdiri di garis perlawanan. Tidak ada ruang tawar-menawar bagi kejahatan. Hukum harus ditegakkan, atau negara ini akan runtuh perlahan oleh kesepakatan yang busuk. Pungkasnya(Red/Aryadin)


CC. Presiden RI Prabowo Subianto

- Danmen Salim Cakra Ketua Satgasus Pemberantasan Korupsi DPN Brigade 571 TMP.