Subhan mengatakan Kepala Dinas definitif dalam keputusan Bupati Bima merangkap jabatan sebagai pelaksana tugas (Plt) mulai dari Kadis PAPEDA rangkap Kadis Pertanian dan Perkebunan, Kadis Ketahanan Pangan rangkap Kadis Perikanan dan Kelautan. Kemudian, Kadis Transmigrasi merangkap Badan Pengelolaan keuangan dan Aset Daerah (BPKAD)
Menurutnya rangkap jabatan dapat menghambat kinerja Kepala Dinas dan berdampak buruk bagi pelayanan masyarakat.
"Rangkap jabatan ini berdampak buruk bagi masyarakat, apa tidak ada lagi orang yang kompeten di lingkungan Pemkab," ungkap Subhan akrabnya disapa Uba To'i kepada Infobima Kamis, (10/04/2025).
Lanjut Subhan, ini akan menjadi persoalan baru jika ada dua jabatan yang dipegang satu orang.
"Dalam konteks pengangkatan jabatan, memang hak prerogatif Bupati, namun yang jadi persoalan apakah dengan dua jabatan itu bisa melayani masyarakat dengan optimal?. tanyanya.
“Contohnya masyarakat butuh pelayanan publik dan membutuhkan tanda tangan Kepala Dinas, tapi saat dibutuhkan tidak ada kepala dinasnya karena harus menjadi plt di Dinas lain,” tandasnya.
Masih kata Aktivis mahasiswa berambut gondrong, seharusnya Bupati Bima melihai menentukan jabatan yang strategis di Pemkab Bima bisa diberikan kepada pejabat lain yang berkompeten. Saya kira masih banyak kok di lingkungan Pemkab yang berkompeten.
"Jabatan Plt ini kan tidak bisa mengeluarkan kebijakan, misalkan untuk masalah anggaran atau memindahkan pegawai, tapi kalau definitif jelas kebijakannya melekat," tuturnya.
Dirinya berharap. Pemkab Bima sesegera mungkin mengevaluasi persoalan ini, dan menetapkan jabatan definitif untuk mengoptimalkan pelayanan kepada masyarakat.
Mengenai larangan rangkap jabatan sudah tertera pada Pasal 76 h Undang-Undang nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah.
Kepala daerah dan wakil kepala daerah dilarang merangkap jabatan sebagai pejabat negara lainnya sebagaimana ditetapkan dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
Di Kabupaten Bima sendiri konflik kepentingan bisa terbilang cukup tinggi dibeberapa instansi pemerintahan. Apalagi menjelang momen yang krusial dalam rangka Anjloknya harga jagung para petani.
"Seperti halnya yang dilakukan Kadis Transmigrasi merangkap Plt Kadis Badan Pengelolaan keuangan dan Aset Daerah. Meskipun menggunakan istilah Plt Pada prinsipnya tetap sama, hal semacam ini berpotensi mengakibatkan terjadinya penyalahgunaan wewenang dan berpotensi melakukan tindak pidana korupsi," pungkasnya.
Berbagai pertanyaan muncul mulai dari bagaimana ketentuan seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS) memiliki lebih dari satu jabatan hingga apakah perbuatan tersebut melanggar kode etik PNS?
Dalam ketentuan kepegawaian PNS, sebelumnya diatur mengenai rangkap jabatan dalam Pasal 98 Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017 menyatakan, Pejabat Fungsional (JF) dilarang rangkap jabatan dengan Jabatan Administrator (JA) dan Jabatan Pimpinan Tinggi (JPT). Hal itu dikecualikan untuk JA atau JPT yang kompetensi dan bidang tugas jabatannya sama dan tidak dapat dipisahkan dengan kompetensi dan bidang tugas JF.
Namun, setelah peraturan tersebut diubah menjadi Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2020, ketentuan mengenai rangkap jabatan tidak lagi diatur. Hal itu kecuali jika tercantum dalam peraturan khusus masing-masing instansi yang ditempati oleh PNS.
Apabila seorang PNS terbukti melanggar ketentuan peraturan khusus dalam instansi, maka ia dinyatakan telah bertindak melanggar etika sebagaimana tercantum dalam Pasal 8 Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2004. Bunyinya, bahwa PNS memiliki etika dalam bernegara yang meliputi. "mentaati semua peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam melaksanakan tugas".
Lalu bagaimana jika di kedua instansi PNS tersebut tidak memiliki aturan khusus mengenai rangkap jabatan?
Yang tidak kalah penting adalah bagaimana seorang PNS memegang asas profesionalitas yang kemudian diterjemahkan ke dalam Nilai Dasar ASN yaitu, "menjalankan tugas secara profesional dan tidak berpihak".
Dalam kondisi PNS rangkap jabatan, maka perlu dipertanyakan bagaimana konsistensi dirinya untuk tetap bersikap profesional. Bukan tidak mungkin akan terjadi Conflict of Interest (CoI) dalam menjalankan tugasnya, apalagi jika jabatan yang ditempati merupakan jabatan strategis dan memiliki kewenangan dalam pengambilan keputusan. Adanya CoI ini juga merupakan salah satu tindakan yang melanggar asas netralitas dalam pengambilan keputusan.
Dalam posisi inilah etika seorang PNS dipertanyakan dan perlu dipertanggungjawabkan, karena sudah selayaknya seorang PNS yang memiliki fungsi sebagai pelayan publik bersikap profesional dan netral.
PNS yang terbukti tidak profesional dan tidak netral dalam menjalankan tugasnya dapat dinyatakan melanggar kode etik dan tentu dapat dikatakan sebagai PNS yang tidak beretika.
Publik dapat turut menjadi agen pengawas dalam kepatuhan kode etik PNS tersebut. Jika didapati PNS diduga melanggar kode etik, maka dapat dilaporkan kepada Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) dan/atau kepada inspektorat masing-masing instansi.
Jika dugaan pelanggaran kode etik dimaksud terbukti, maka PNS tersebut selain dijatuhkan sanksi moral dapat dijatuhkan tindakan administratif sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Tutupnya ( Red/03/Aryadin)
Saat dikonfirmasi dan mempertanyakan terkait Peraturan Bupati Bima tentang ASN yang rangkap jabatan.
Menyoroti terkait kepala dinas transmigrasi merangkap jabatan nya sebagai kepala BPKAD Dan kepala Bappeda merangkap sebagai kadis pertanian dan perkebunan serta Kadis Ketahanan Pangan rangkap Kadis Perikanan dan kelautan kabupaten bima
Adapun tanggapan Kabag Humas forkopimda kabupaten bima. Suryadin: kalau jabatan Plt. tidak ada masalah. Singkatnya