Ketika Istri Mengatur Jabatan Suami !! Antara Dukungan dan Intervensi Kekuasaan -->
Cari Berita

Iklan 970x90px

Ketika Istri Mengatur Jabatan Suami !! Antara Dukungan dan Intervensi Kekuasaan

Monday, July 14, 2025

Bima ~ infobima.com ~ Dalam ruang opini publik, seorang pejabat tidak hanya membawa dirinya sendiri, tetapi juga membawa simbol keluarga, jabatan, dan nilai moral yang melekat.


Taufiqurrahman S.H Praktisi Hukum dan Aktivis Keadilan Sosia menyampaikan seruan opini publik, di balik banyak pemimpin pria. Seringkali ada peran istri yang mendampingi, baik dalam senyap maupun terang. 


Namun Mirisnya, peran itu mulai menyimpang ketika istri justru tampil sebagai “aktor politik bayangan”.  mengatur, memengaruhi, bahkan mengendalikan keputusan strategis sang suami.


Kemudian fenomena ini bukan hal baru dan telah terjadi lama serta banyak contohnya di Indonesia. Kita menyaksikan bagaimana beberapa istri pejabat publik tampil dominan, melampaui fungsi sosial sebagai pendamping. Kini menjelma menjadi pengambil keputusan the facto. 


Mulai dari menentukan mutasi pejabat, mengatur arah kebijakan, hingga. "bermain-main".  dalam proyek strategis, semuanya atas nama "dampingi suami." Padahal, dalam sistem demokrasi dan tata kelola pemerintahan yang sehat, mandat kekuasaan hanya dimiliki oleh mereka dengan mendapatkan legitimasi rakyat, bukan keluarga atau kerabat.


Tentu, kita tidak bisa menafikan bahwa peran istri bisa menjadi sumber dukungan moral dan spiritual. 


Seorang suami, apalagi pejabat publik, membutuhkan support system yang kuat. Namun ketika peran tersebut bergeser menjadi intervensi langsung dalam urusan birokrasi, maka itu menjadi masalah serius. Bukan sekadar etika publik yang dilanggar, tapi juga prinsip good governance dan akuntabilitas.


Istri bukan pejabat. Ia tidak menjalani proses seleksi, tidak diuji publik, dan tidak memiliki tanggung jawab hukum terhadap keputusan yang ia pengaruhi. Maka ketika ia tampil terlalu dominan, sesungguhnya yang terjadi adalah penyalahgunaan posisi melalui jalur informal, sesuatu yang secara teoritik disebut sebagai shadow governance (Pemerintahan Bayangan).


Keterlibatan istri dalam wilayah kekuasaan suami seringkali menciptakan ketakutan dalam birokrasi. ASN atau pejabat daerah tak lagi bekerja profesional, tetapi sibuk menjaga relasi dengan "ibu pejabat." Yang lebih parah, lahirnya feodalisme baru, di mana loyalitas digeser dari sistem ke individu  dari pemimpin formal ke pasangannya.


Ini bukan hanya merusak kultur kerja, tapi juga menciptakan preseden buruk dalam kepemimpinan. Ketika kebijakan publik diputuskan berdasarkan bisikan orang terdekat, bukan kajian teknokratik, maka rakyatlah yang akan menerima dampaknya.


Negara ini dibangun atas prinsip checks and balances. Maka, siapa pun, termasuk keluarga pejabat ,tidak boleh dibiarkan melewati batas. 


Sudah saatnya masyarakat dan media bersikap kritis terhadap praktik semacam ini. Kode etik pejabat publik harus ditegakkan, termasuk mengatur secara tegas perilaku keluarga inti agar tidak terlibat dalam urusan kekuasaan.


Bila seorang istri ingin berkiprah dalam kebijakan publik, jalannya terbuka: ikut kontestasi politik secara sah. Tapi selama suami yang menjadi pejabat, istri sebaiknya menjaga perannya dalam batas wajar, tanpa menyusupi wewenang negara yang bukan miliknya. Pungkasnya  (Red/Aryadin)