Sebagaimana diketahui, sistem syarikah diberlakukan oleh pemerintah Arab Saudi sebagai sistem layanan satu pintu yang menangani semua kebutuhan jamaah-dari kedatangan, akomodasi, katering, hingga pelayanan di Arafah, Muzdalifah, dan Mina (Armuzna). Sebagai Fungsi Pengawasan Hj. Mahdalena Anggota DPR RI FPKB mendapatkan banyak laporan, Hasil Pengamatan Kami di Lapangan, Pelaksanaannya justru menyebabkan pemisahan keluarga, seperti jamaah lansia yang terpisah dari pendampingnya, pasangan suami istri yang ditempatkan di hotel yang berjauhan, dan bahkan petugas haji yang tidak bisa mendampingi jamaahnya.
Tak hanya itu, banyak jamaah juga terkendala menjalankan umrah wajib karena belum mendapatkan kartu Nusuk, yang menjadi syarat utama untuk memasuki kawasan Masjidil Haram. Beberapa bahkan merasa seolah menjadi "jamaah ilegal" karena tidak memiliki akses resmi.
Yang lebih mengejutkan, terdapat kasus koper jamaah yang terpisah hingga 14 kilometer dari pemiliknya, dan tim kesehatan terpisah dari rombongan yang seharusnya didampingi. Kekacauan ini memperburuk kualitas pelayanan dan kenyamanan beribadah jamaah Indonesia di Tanah Suci.
Hj. Mahdalena, Ketua Kelompok Fraksi (Kapoksi) Komisi VIII DPR RI dari Fraksi PKB, menyampaikan keprihatinannya terhadap situasi ini.
“Kita mendengar banyak keluhan dari jamaah. Ini bukan masalah kecil. Menteri Agama harus segera turun tangan, melakukan evaluasi menyeluruh, dan mengambil langkah strategis untuk menghindari kekacauan serupa di masa depan. Ibadah haji adalah urusan yang sangat sakral, dan negara tidak boleh abai dalam pelindungan warganya di tanah suci,” tegasnya.
Komisi VIII DPR mendesak agar Kementerian Agama tidak sekadar menjadi pengamat, tetapi aktif menjalin diplomasi dan negosiasi dengan otoritas Arab Saudi untuk membenahi sistem syarikah yang terbukti tidak berjalan baik dalam pelaksanaannya.