Kasus ini bukan sekadar persoalan pribadi antar individu, melainkan telah mencederai marwah profesi guru di Indonesia. Sebab bagaimana mungkin, di era di mana kita semua bersatu memperjuangkan mutu pendidikan, masih ada guru yang menolak sesama guru bukan karena persoalan profesionalitas, bukan pula karena pelanggaran aturan, melainkan hanya karena kepentingan pribadi dan sentimen yang sempit.
Kronologi Singkat: Lapor Diri Sesuai Aturan, Ditolak Secara Sepihak. Sebagaimana lazimnya aturan yang berlaku di bawah naungan Dinas Pendidikan, setiap guru yang ditempatkan di sekolah baru wajib melapor diri secara resmi kepada kepala sekolah dan seluruh jajaran guru. Proses ini sudah dilaksanakan oleh Ibu Guru Ruwaidah, S.Pd, dengan pendampingan langsung oleh saya, Ahmad, SH, selaku kuasa hukumnya.
Beberapa hari lalu, kami datang dengan itikad baik. Kami diterima secara terbuka oleh Kepala Sekolah SDN Inpres Rabakodo. Tak hanya itu, pertemuan kedua bahkan dihadiri oleh seluruh guru yang menyatakan diri siap bekerja sama demi memajukan sekolah tersebut. Suasana kala itu tampak hangat, saling menghormati, dan tak ada tanda-tanda penolakan.
Namun, esok harinya, situasi berubah drastis dan tak terduga. Sekelompok guru yang hadir sebelumnya tiba-tiba membuat pernyataan sepihak: menolak Ibu Guru Ruwaidah untuk kembali mengajar.
Apa alasannya? Tidak ada. Namun Mirisnya dalam tersebut tidak menunjukkan adanya pelanggaran hukum, tidak ada masalah administrasi, tidak ada cacat moral, tidak ada pula kesalahan prosedur. Penolakan itu murni lahir dari faktor pribadi, sentimen, bahkan bisik-bisik kecil yang tidak layak dijadikan alasan profesional dalam dunia pendidikan.
Sebagai kuasa hukum, saya tidak akan tinggal diam. Saya telah menelusuri lebih dalam akar permasalahan ini. Penolakan tersebut tidak berdasar hukum, melainkan lahir dari kepentingan segelintir oknum yang merasa keberatan tanpa alasan rasional dan obyektif.
Penempatan Ibu Guru Ruwaidah, S.Pd, adalah keputusan sah yang dikeluarkan oleh Dinas Pendidikan Kabupaten Bima. Menolak beliau sama artinya dengan melecehkan kewenangan Dinas Pendidikan, melanggar etika profesi guru, dan merusak citra dunia pendidikan kita sendiri.
Saya ingin menyampaikan pesan tegas, khususnya bagi para guru di seluruh pelosok negeri ini: jangan biarkan urusan pribadi mencemari martabat profesi guru. Tugas kita adalah mencerdaskan anak bangsa, bukan memusuhi rekan sejawat hanya karena rasa tidak suka yang tak berdasar. Jangan karena kepentingan kecil, kita mengorbankan masa depan generasi yang butuh keteladanan.
Langkah Hukum Akan Ditempuh, jangan Main-main Dengan Hak Seorang Guru. Apabila tindakan diskriminatif ini terus berlanjut, kami sedang menyiapkan langkah hukum. Kami akan membawa perkara ini ke ranah yang lebih serius, karena ini bukan hanya soal Ibu Guru Ruwaidah, tetapi tentang bagaimana hak-hak guru dihormati, dihargai, dan dilindungi oleh undang-undang.
Jangan pernah lupakan, hak seorang guru untuk mengabdi telah dijamin undang-undang, dan siapapun yang menghalangi hak itu tanpa dasar yang jelas, berarti menabrak hukum.
Harapan Kepada Pemerintah: Kembalikan Martabat Sekolah Sebagai Tempat Menebar Ilmu, Bukan Tempat Bermusuhan
Kami berharap Dinas Pendidikan Kabupaten Bima, bahkan jika perlu Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, memantau secara serius persoalan seperti ini. Jangan biarkan budaya saling menolak di antara guru berkembang liar tanpa dasar. Dunia pendidikan bukan milik segelintir orang, tapi milik anak-anak bangsa yang mendambakan guru-guru yang kuat, saling mendukung, dan profesional.
Sekolah bukan tempat menanam benih kebencian, tapi tempat menanam benih pengetahuan, akhlak, dan masa depan. Mari kita jaga bersama marwah guru, jangan biarkan profesi mulia ini ternoda oleh ego dan kepentingan pribadi.
Pendidikan adalah soal masa depan anak-anak, bukan soal ego orang dewasa. Guru adalah pelita di tengah gelap, bukan bara yang saling membakar sesama.
Sudah saatnya kita kembalikan marwah sekolah, demi masa depan yang lebih baik. (Red/Aryadin).