Wanita Bima dengan Kemampuan “Muna Ro Medi” dan Ekspresi Islam dalam “Rimpu Mbojo”
Cari Berita

Iklan 970x90px

Wanita Bima dengan Kemampuan “Muna Ro Medi” dan Ekspresi Islam dalam “Rimpu Mbojo”

Wednesday, April 7, 2021

Foto : Ketua PKK dan Dekranasda Kota Bima, Hj. Ellya Alwani H. Muhammad Lutfi, SE.


Kota Bima, Media Info Bima Online - Tenunan menjadi salah satu kebanggaan masyarakat Bima. Kerajinan khas daerah ini yang menjadi salah satu budaya yang melekat dan juga ciri khas tersendiri bagi masyarakat Bima. 


Tahukah kalian, proses menenun membutuhkan waktu yang tidak sedikit. Butuh kreativitas, konsentrasi dan ketelitian yang tinggi. Dahulunya, berdasarkan ketentuan adat setiap wanita yang memasuki usia remaja harus terampil melakukan Muna ro Medi, yang merupakan kegiatan kaum ibu guna meningkatkan kesejahteraan hidup keluarga. 


Perintah adat tersebut dipatuhi oleh seluruh wanita Mbojo sampai Tahun 1960-an. Sejak usia dini anak-anak perempuan dibimbing dan dilatih menjadi penenun “Ma Loa Ro Tingi” (terampil dan berjiwa seni). Bila kelak sudah menjadi ibu rumah tangga mampu meningkatkan kesejahteraan hidup keluarga.

“Muna Ro Medi” menjadi salah satu kegiatan yang mendukung kesejahteraan kehidupan keluarga. Seorang wanita melakukan “Muna Ro Medi” usai melakukan kegiatan rumah tangga sembari menunggu suami pulang bercocok tanam. Di sebagian wilayah musim tenun juga dipengaruhi oleh musim tanam di wilayah tersebut, dimama aktivitas menenun menjadi salah satu aktivitas yang dilakukan ketika sela musim tanam dan musim panen.


Pada masa lalu, suara alat tenun terdengar di setiap rumah terutama di siang hari. Kini, suara alat tenun tidak lagi sebanyak dulu. Tetapi, berkat Dekranasda Kota Bima saat ini di Kota Bima sebanyak 10 kelurahan menjadi sentra penenun dan menjadi desa wisata tenun dan tempat para pelancong berkunjung untuk melihat secara langsung proses menenun (Muna ro Medi) dan membeli secara langsung tenunan khas Bima. Beberapa kelurahan tersebut diantaranya kelurahan Rite, Ntobo, Rabadompu Barat, Rabadompu Timur, Penanae, Kumbe, Nungga, Lelamase, Oi Fo’o dan Nitu.

Berdasarkan ketentuan adat pula, ragam hias yang boleh dijadikan motif adalah motif bunga dan tumbuh-tumbuhan seperti bunga satako (bunga setangkai) yang mengandung makna kehidupan masyarakat yang sejuk damai laksana rangkaian bunga yang sepanjang waktu menebar aroma semerbak bagi lingkungannya, bunga samobo (bunga sekuntum) mengandung makna pengharapan masyarakat, agar para pemakai atau pengguna hasil tenunan memiliki akhlak mulia bagaikan sekuntum bunga beraroma semerbak bagi masyarakat, kakando (rubung) mengandung makna kesabaran dan keuletan dalam menghadapi tantangan, seperti kakando yang mampu tumbuh di tengah-tengah rumpun induknya yang lebat. dan Aruna (nanas) dengan 99 buah sisik mengandung makna 99 sifat Allah SWT, pencipta alam semesta yang selalu dipuji dan disembah oleh manusia sebagai hambaNya.


Sesuai dengan kelemahan dan keterbatasannya, manusia wajib memahami 99 sifat Allah SWT. 

Tak hanya itu, selain sebagai komoditi tenunan Bima juga menjadi bagian dari runutan sejarah kerajaan Islam yang ada di Bima. Pada era kesultanan sebelum tahun 1960, kain Mbojo merupakan kain yang dipakai sehari-hari oleh warga Bima. Meski kini sudah banyak yang beralih ke hijab biasa, Rimpu dari kain mbojo sempat menjadi pakaian wajib bagi perempuan di Bima. 


Dulu kalau ada perempuan yang keluar rumah tanpa rimpu dianggap melanggar norma agama dan adat. Ini berarti bahwa pengaruh nilai-nilai keislaman pada Kejayaan Bima dimasa lampau memang tidak diragukan lagi kebenarannya, salah satunya kebiasaan masyarakat Bima yang muslimah dalam memakai Rimpu. 


Rimpu merupakan pakaian pengganti kerudung bagi wanita muslimah suku Mbojo yang mendiami Kota Bima, Kabupaten Bima, dan Kabupaten Dompu, Propinsi Nusa Tenggara Barat. Budaya Rimpu telah hidup dan berkembang sejak berdirinya Kesultanan Bima. Rimpu sendiri mengandung nilai-nilai khas yang bernuansa Islam (Kesultanan atau Kerajaan Islam). Rimpu hanya diperuntukkan bagi perempuan sedangkan bagi laki-laki tidak memakai rimpu tetapi Katente (menggulungkan sarung di pinggang).


Rimpu untuk perempuan yang belum menikah dengan yang sudah menikah juga dibedakan. Jika perempuan yang menenun kain belum menikah, maka rimpu dipasang hingga menutupi semua wajah (Rimpu Mpida), hanya memperlihatkan kedua mata. Rimpu model ini sering disebut cadar ala Bima. Dalam kebudayaan masyarakat Bima, wanita yang belum menikah tidak boleh memperlihatkan wajahnya kepada yang bukan Mahramnya. Tetapi untuk perempuan yang sudah menikah, sudah boleh memperlihatkan wajahnya dengan rimpu tersebut (Rimpu Colo). Rimpu model ini pada bagian wajah sudah dibolehkan untuk terbuka atau kelihatan. (Usman).